Pemimpin dan pengembala secara esensial artinya hampir sama. Namun kedua istilah tersebut
digunakan untuk keperluan berbeda. Pemimpin selalu dikaitkan dengan manusia, sedangkan pengembala dikaitkan dengan binatang. Selain itu sekalipun istilahnya sama, yaitu sama-sama sebagai pengembala, namun jika jenis binatang yang digembala tidak sama, maka teknik mengembalanya juga berbeda. Mengembala bebek berbeda dengan mengembala kuda. Pengembala bebek tatkala sedang menghau bebeknya selalu mengambil posisi di belakangnya. Tidak pernah terihat pengembala bebek mengambil posisi di depan sekumpulan bebeknya. Jika itu dilakukan, mungkin hanya dalam keadaan tertentu, darurat atau memang pengembala itu masih belum mahir, masih pada taraf berlatih. Berbeda dengan pengembala bebek, adalah pengembala kuda. Pengembala kuda, yang akan memandikan kudanya tidak pernah mengambil posisi di belakang kudanya. Ia selalu mengambil posisi di depan kudanya.
Seorang pengembala bebek sanggup mengembala bebek puluhan dan bahkan ratusan bebek. Ia cukup membawa kantong berisi cadangan makanan ternaknya dan sebatang tongkat kecil sebagai alat memberikan aba-aba dan petunjuk arah ke tempat mana bebek dibawa. Pengembala bebek tidak perlu membawa alat pengaman untuk menghalaunya. Sekalipun sesederhana itu, instrument yang digunakan memberikan petunjuk, maka bebek sudah mengerti akan dikomando kemana, karena kebiasaannya memang seperti itu.
Dengan tongkat kecil itu, bebek dikomando dari belakang. Tidak sebagaimana kambing, mengembala bebek sangat mudah. Sekumpulan ternak ini tidak ada yang berbeda, semua mengikuti bebek yang kebetulan berada di barisan paling depan. Berbeda dengan bebek, adalah kambing. Rombongan kambing selalu bercerai berai. Satu ke utara, bisa jadi lainnya ke selatan. Sebagian berjalan cepat, sebagian lainnya sangat lambat. Susah sekali mengembala kambing, tidak sebagaimana pengembala bebek. Karena itulah makanya, Nabi Muhammad, tatkala masih kecil disengaja atau tidak, diberi pengalaman sebagai pengembala kambing, pekerjaan yang amat sulit itu.
Sekumpulan bebek yang dihalau secara mudah oleh pengembalanya itu, tatkala sudah nyampai di tempat yang berair, ----- di sungai atau di sawah, langsung bersama-sama masuk sungai atau sawah. Pengembalanya tidak perlu sulit-sulit ikut terjun ke sungai atau ke sawah. Ia cukup menunggu di pematang atau dipinggir sungai. Pekerjaan pengembala bebek hanya sebatas menunggu. Dan jika ia bosan di situ, tongkat komandonya ditancapkan di tempat itu juga plus topinya di letakkan di atas tongkatnya itu, jika ia mau ---- dan biasanya begitu, ditinggalkanlah bebeknya itu pulang ke rumah, istirahat. Bebek yang ditinggalkan oleh pengembalanya, yang hanya diwakilkan pada tongkat dan topinya tidak pernah beranjak dari tempat itu. Bebek pun diperlakukan seperti itu tidak pernah protes, dan ternak itu tidak akan berani meninggalkan tempat itu. Pekerjaan pengembala bebek sedemikian mudah, tetapi tidak terlalu banyak orang yang tertarik dengan pekerjaan ini. Mungkin selain berpenghasilan rendah, pekerjaan ini tidak menantang dan sekaligus juga tidak bergengsi.
Sangat berbeda dengan pengembala bebek yang sangat ringan itu, adalah pengem bala kuda. Pengembala binatang yang biasa digunakan untuk pacuan ini cukup berat. Kesulitan pengembala kuda, tidak saja tatkala memasang sepatu di masing-masing ke empat kakinya, tetapi juga tatkala mau memandikannya. Jika pengembala bebek selalu mengambil posisi di belakang, maka pengembala kuda yang akan memandikannya harus mengambil posisi di depan kudanya. Kuda tidak akan mau masuk kolam atau tempat pemandiannya jika pengembalanya tidak masuk terlebih dahulu. Teknik membawa kuda ke kolam pemandian, ialah pengembala masuk kolam terlebih dahulu, kemudian kuda ditarik dari sana. Sekalipun dalam keadaan dingin, jika diratik dari depan, kudapun mau mengikut. Jangan coba-coba menghalau kuda dari posisi belakangnya. Jika pengembala mengambil posisi di belakangnya, dan dipukul-pukul pantat binatang berkuku tunggal ini agar masuk kolam, kuda tidak akan mau. Jika kita paksa, kuda akan menyepak, dan ia akan menyepak dengan dua kaki sekaligus, praaag. Ternyata kuda memang berbeda dengan bebek. Kuda baru mau mengikuti kemauan pengembalanya, jika pengembala yang bersangkutan berada di posisi di depannya, dan tidak sebagaimana bebek. Pengembala bebek cukup di belakang.
Kuda adalah binatang yang selain berbadan tinggi, besar dan kuat, juga memiliki nafsu yang besar. Berbeda dengan unggas, termasuk bebek ini. Bebek punya nafsu, tetapi rupanya sangat rendah. Berpuluh-puluh ekor bebek betina, hanya cukup dengan seekor atau beberapa ekor pejantannya. Bebek termasuk binatang yang sangat loyal kepada pengembalanya. Mau dihalau kemana saja, terserah yang menghalau. Pengembala bebek juga tidak perlu orang kuat, anak kecilpun cukup. Hal itu berbeda dengan pengembala kuda, orangnya harus kuat. Kuda sesekali melawan pengembalanya. Binatang ini berani menendang siapapun, termasuk kepada pemiliknya.
Diskripsi yang membedakan antara dua jenis pengembala, yaitu pengembala bebek dan kuda di atas sesungguhnya memiliki relevansi apa dalam kontek kehidupan ini. Perbincangan antara bebek dan kuda tersebut jika kita renungkan secara mendalam, sangat relevan dengan tugas-tugas kepemimpinan. Seringkali pemimpin memperlakukan anak buahnya seperti bebek. Padahal sifat-sifat manusia bukan seperti bebek. Sifat-sifat manusia lebih dekat dengan sifat kuda yang memiliki nafsu tinggi daripada sifat bebek yang tidak memiliki nafsu. Hanya saja seringkali pemimpin bertindak keliru. Manusia diperlakukan seperti bebek. Mereka kita suruh-suruh mengerjakan sesuatu, sedang pemimpinnya sendiri bersembunyi, dan tidak mau melakukan sebagaimana yang dikomandokan. Maka akibatnya, jelas kepemimpinannya gagal. Padahal semestinya pemimpin harus meniru cara kerja pengembala kuda, yaitu selalu memposisikan diri di depan kudanya. Ia masuk kolam dulu, baru kudanya di tarik dari tengah kolam. Pemimpin manusia mestinya seperti pengembala kuda itu, ia mengerjakan terlebih dahulu apa yang dimaui dari orang yang dipimpinnya, baru mereka yang dipimpinnya akan mengikutinya dari belakang.
Berceritera tentang pengembala bebek dan kuda ini, saya segera teringat sulitnya memakmurkan masjid tatkala sholat jama’ah subuh, apalagi menggalang pembayaran zakat. Masjid-masjid sudah sedemikian banyak, tetapi tatkala waktu subuh jama’ahnya sebagian besar jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Begitu pula, jumlah kaum muslimin sedemikian besar, jika diandai-andai besarnya jumlah harta hasil zakat sedemikian banyak, tetapi pada kenyataannya masih jauh dari hitungan seharusnya. Menghadapi kenyataan ini, orang menacri tahu jawabnya, dan akhir sampai pada kesimpulan, bahwa pengelolaan zakat belum diorganisasi secara rapi dan terpercaya. Kesimpulan itu saya kira betul, tapi ada satu lagi yang seringkali terlewatkan, yaitu jangan-jangan belum maksimalnya pengumpulan zakat itu justru karena belum ada contoh dari para tokoh dan pemimpin umat untuk selalu menunaikan kewajiban zakat ini. Bukankah sesungguhnya manusia, sebagaimana kuda dan bukan seperti bebek, yakni seharusnya para pemimpinnya selalu memposisikan diri di depan umatnya dalam berbagai hal, termasuk mengeluarkan zakat ini. Sekali lagi manusia, bagaikan kuda, dan bukan
seperti bebek. Bukankah Rasulullah, juga mengatakan ibda’binafsika.
Allahu'alam
No comments:
Post a Comment